Hello, My name is Gilang Novanda. You can follow me on my twitter @gilangnovanda, Cheerrsss :D

Selasa, 25 Maret 2014

MAHASISWA


Mahasiswa
2010
Saya bersama teman SMA saya, Norman, menyusuri Bandung untuk mencari informasi mengenai Universitas yang ada di kota ini. Saya sudah lulus tanpa meninggalkan masalah di sekolah. Selama SMA saya tidak pernah menjadi terosis atau anggota Illuminati. Saya bersih dan kini tinggal mencari tempat yang cocok untuk melanjutkan pendidikan.
Banyak yang bilang, ngambil jurusan komputer aja, soalnya nantinya gampang kemana-mana. Salah! Malah ribet kalau kemana-mana bawa komputer. Berat.
Saya mengambil brosur dari beberapa Universitas negeri ternama di Bandung. Cie. Padahal saya nggak yakin bakalan diterima di Universitas negeri manapun di jagad semesta alam.
Saya mencari jurusan sastra indonesia tapi nggak nemu. Saya waktu itu nyarinya di ITB. Mana ada tehnik belajar sastra? Saya baru sadar pas setelah itu. Untung nggak nanya ke satpam. Si Norman lagi ngangguk-ngangguk aja pas diajak.
Sebenarnya saya pengen merantau. Singgah di Kota orang. Merasakan bagaimana merindukan kampung halaman nantinya. Tapi percuma, saya nggak mungkin merindukan kampung halaman. Soalnya saya tinggal di Kota. Mungkin saya akan merindukan Kota halaman.
Mamah tidak setuju dengan usulan saya itu. Daripada dilempar piring, saya akhiri perdebatan dan memutuskan kuliah di Kota kelahiran saya, Kota Kembang, yang sebenarnya kembangnya tinggal sedikit tertipa gedung-gedung besar. Macet lagi.
Salah satu gedung besar yang saya ceritakan tadi kini menatap saya dari pinggir jalan setelah saya memarkirkan motor di jalan Dipatiukur. Saya mengunci motor dan mengunci stang. Saya enggan memanjakan maling. Hidup perlu ada usaha sedikit, Ling.
“Man, kita sudah besar.” Kata saya merangkul Norman sambil berjalan menuju universitas swasta itu. Norman hanya mengangguk. Mungkin dia merasa masih kecil.
Kami berdua masuk ke lobi dan mengabil brosur Universitas itu di meja panitia. Eh, bukan panitia, tapi sekertariat. Entah kenapa, feeling saya berkata bakalan masuk Universitas swasta ini meskipun hasil SNMPTN belum diumumkan.
Pas ujian SNMPTN, Saya ngambil ujian soal IPA. Pilihan jurusan di soal IPA pusing-pusing. Pilihannya jurusannya, matematika, kimia, fisika, pertanian dan lain-lain. Saya ngambil Psikolog UNPAD dan Ilmu Komputer UPI. Saya kurang tau kalau Psikolog di UNPAD itu bagus kata orang-orang. Dikirain gampang masuknya. Jadi saya sangat percaya diri kalau saya akan gagal di SNMPTN.
Setalah mengambil brosur, kami berdua kembali ke tempat parkir untuk mengambil motor. Saya melihat tukang batagor gerobak pinggir jalan dan mengajak Norman membeli batagor disana. 
Kami berdua duduk di trotoar dan memesan ke Tukang batagor yang keliatan senang. Batagor yang dijualnya ada dua jenis, batagor kuah dan kering. Saya memesan batagor Kuah, Norman memesan batagor kering.
“Man, jangan mesen batagor kering. Rugi.” Kata saya berbisik.
Norman menengok. “Kenapa?”
“Liat aja nanti.”
Dua mangkok batagor datang. Kami berdua melahap batagor sesuai pesanan. Norman semangat memakan batagor dengan bumbu keringnya. Sedangkan saya menghabiskan kuah tanpa memakan batagornya. Pas batagor Norman habis, batagor saya masih utuh.
Saya berdiri dari duduk, “Mang, minta bumbu keringnya ya.” Tukang batagor itu mengangguk. Saya menuangkan bumbu kering pada batagor yang masih utuh. Lalu duduk lagi di sebelah Norman.
“Man, kemana batagor kamu? Kenapa udah abis lagi?” saya nyengir.
Norman ketawa sambil geleng-geleng kepala, “Kamu bener-bener.”
“Kata saya juga apa, rugi kan? Saya mah dapet dua rasa, satu biaya.” Saya nyengir sambil memakan batagor dengan bumbu kering yang enak.
Malam harinya, hasil SNMPTN diumumkan. Kakak saya yang nganggur satu tahun sehingga jadi seangkatan dengan saya diterima SNMPTN UPI sastra jepang. Pas saya buka Nomor peserta SNMPTN saya, seperti yang sudah-sudah. Saya gagal masuk pendidikan akademis negeri. Baik SMP, SMA, dan Kuliah.
Saya sedih. Kapan giliran saya masuk negeri? Saya membuka FB, jejaring sosial utama saat itu, saya mendapati berita kalau teman-teman juga masuk Universitas negeri pilihannya. Bahkan Norman masuk sastra Perancis di UPI.
Saat itu saya masih remaja. Pikiran saya sangatlah pendek. Kenapa Tuhan selalu menunjuk saya gagal? Kapan giliran saya? Sempat kepikiran untuk kerja dulu dan menunda penididikan saking kecewanya. Tapi pada akhirnya saya harus mau menerima berkampus di swasta yang dianggap dibawah universitas negeri oleh masyarakat.
*****
Kini saya harus kembali. Kejalan itu. Jalan beraspal yang dipinggirnya banyak motor parkir liar. Saya parkir disana karena saya percaya saya mampu menjinakan lagi motor saya.
Saya kembali ke tukang batagor itu. Saya bisa saja menyalahkannya. Gara-gara makan batagor dua rasa satu biaya, saya jadi gagal masuk universitas negeri. Tapi sudahlah, saya sekarang masuk universitas ini. Dengan Cucu. Dia adalah teman SMA saya yang tidak saya kenali waktu SMA.
Alhamdulilah, saya diterima di Universitas Swasta, yang... hmm... no comment. Untuk memuji universitas saya sih jarang-jarang. Perguruan tinggi ini dengan senang hati menerima saya sebagai mahasiswa setelah membayar uang pendaftaran. Tanpa uang pendaftaran, entahlah.
Asalnya saya mengambil jurusan komputer, tapi saya batalkan dan memilih jurusan ilmu komunikasi. Saya berkonsultasi ke Ahmad, tetangga saya, jurusan Ilmu komunikasi itu belajarnya apa saja? Katanya, nggak ada pelajaran matematika. Yap, itu adalah penjelasan yang mampu mengubah haluan dari jurusan management informatika menjadi ilmu komunikasi. Karena nggak ada itungannya. Enak.
Saya datang sore hari untuk mengikuti mata kuliah kedua di hari pertama masuk kuliah. Tadi pagi sudah masuk mata kuliah dan mata kuliah ke dua di lanjut sore ini. Saya belum ketemu siapa pun. Maksudnya teman-teman baru. Karena Cucu tadi langsung mengajak saya pulang.
Saya berjalan sendiri dari parkiran menuju ruang seminar. Di jadwal tercatat pelajaran sekarang digelar di ruang itu. Entah dimana ruangan itu yang penting saya kumpul dulu di depan ruang sekjur. Biasanya sebelum masuk kelas, mahasiswa baru pada kumpul di depan sekjur.
Dan benar, ada beberapa anak-anak kelas IK-3, teman sekelas saya yang sebenarnya saya kenali selewat tadi pagi. Sebagai orang baru, saya linglung mencoba mencari tempat menunggu yang tenang.
Saya mendapati dua orang yang sedang duduk di batasan teras sekjur dengan halaman parkir terbuat dari papingblok. Mereka berdua tersenyum menyambut kedatangan saya. Tangan kami bersalaman bergantian dan saling mengenalkan nama, “Ade.” Pria botak yang saya salamin pertama. Dia tersenyum ramah. Model rambutnya sama kayak saya. Meski nggak ada ospek, saya digunduli. Mengantisipasi cewek-cewek pada ngeceng.
 “Panggil aja, Cupeng.” Kata pria stelan hitam-hitam yang saat bersalaman itu. Saya ingat percis dua orang pertama yang saya salami di kampus ini.
Dan bertanda apa? Ya bertanda bahwa kami mahasiswa dong. Nggak berapa lama, dosen memberi tahu masuk kelas dan para mahasiswa juga ikut masuk kelas.

Read More/Selengkapnya...