Pagi-pagi bisa dikatakan waktu yang sempurna untuk tidur. Udaranya yang masih sejuk, adem, meminta saya untuk mengeratkan slimut yang belum dicuci setahun. Selain itu entah kenapa sinyal selalu panteng (asli, bukan yang lain). Saya baru tidur dua jam lalu karena semalaman saya nggak bisa tidur. Karena kebiasaan dan memang enak aja bisa buka web site bebas karena udah pada tidur. Masksudnya web lagu dan lain-lain gitu.
Tapi ahhh. apa mau dikata, moment ini dirusak Mamih.
“beliin cengek ke warung sebentar!”
Saya pun bertanya-tanya. Apa hari ini hari cengek sedunia?
Saya melihat kalender. Nggak merah. Nice!!! Cuma di sini tidur pria tampan terganggu cengek. Slimut tebal dan sofa ini seperti tumor yang ngak bisa di pisahkan. Susah sekali.
Karena saya nggak mau disebut anak durhaka, saya memenuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Dengan mata terkantuk-kantuk dan hati nggak ikhlas membuat perjalanan saya ke warung begitu berat. Sangat berat.
Ibu-ibu yang berpas-pasan dengan saya di warung pada sibuk ngobrolin sinetron sama reality show. Saya diam dan denger dikit dikit pembicaraan ibu-ibu yang ngoborin sinetron yang berjudul, Anakku Bukan Anakmu, “Eh, si Rangga itu sebenernya diaku anak nggak sih? Saya suka kasian ngeliatnya.”
Ternyata ibu-ibu itu nggak up date, lebih tau saya tentang sinetron itu. Dikisahkan saat itu pada episode lima ratus empat puluh tiga koma Sembilan, bahwa rangga itu sebenarnya bukan anakku karena rangga hanya seekor domba. Saya memang nggak begitu mengerti karena waktu itu TV saya lagi bures.
Kan nggak level gitu ya kalau ngumpul bareng ibu-ibu, saya pun mencari teman sebaya yang ada di warung untuk ngobrolin Naruto atau Doraemon. Tapi sayangnya nggak ada. Cuma saya lelaki tulen di sini.
Setelah menemukan cengek dan nggak menemukan obrolan Naruto, saya kembali pulang dan membawa uang kembalian.
“Nih, Mih.” Saya memberikan cengek titipanya. Dan memasukan uang kembalian ke saku saya.
“Mana kembaliannya?” Tagih Mamih. Ternyata Mamih lebih jeli dalam urusan uang.
“Mah, cuman 200.”
“ah, ga bisa.”
TIDAKKKKK. Saya galau nggak mendapatkan uang kembalian. Dalam asa yang sirna, saya menemukan sesuatu di katel kompor yang bikin saya ngacai. Itu adalah tai ayam. Eh, maksudnya Ati ayam, salah satu makanan kesukaan saya dari seribu makanan yang saya sukai.
Saya suka ati ayam, apalagi daging ayam yang bagian atinya. Tapi lebih lezat ati ayam nya deh. Uh mantap.
Saya ngambil Ati itu tanpa basa-basi. Mamih yang ngeliat tindakan saya langsung nangkis tangan saya “Ciat!!!” teriak Mamih.
Tangan saya menjauh sejauh mungkin dari ati itu. Takutnya ati itu utusan dewa.
“Buat Kakek!” kalem Mamih.
Oh Cuma buat Kakek. Reaksi Mamih alay.
“Itu ati yang kapan, Mih?”
“Yang kemarin.”
Saya bertanya-tanya dalem hati, apa nggak basi? Mungkin nggak. Tapi saya berdoa supaya Kakek menolak ati yang dikasih Mamih. Dan kemudian atinya dikasih saya.
Semoga saja.
Terbayang jika ati itu jatuh dalam kunyahan mulut saya yang diincar banyak wanita. Gress… gress… nyam… nyam… dengan bumbu buatan Mamih yang biasanya selalu mantap. Duh serasa jadi bintang iklan. Kalau makan ati, Saya selalu sengaja menyisakannya di gigi. Menyisakan untuk teman-teman. Kali aja ada yang mau.
Sambil menunggu keputusan Kakek yang masih tidur, saya juga ikut tidur. Duet bobo bareng Kakek. Bisa aja kan kalau ketemu di mimpi ngobrol dan main kartu bareng.
^^^^^^^^^^
“Bangun! Udah magrib! Pamali.” Mamih membangungkanku.
Saya ngeliat jam. Gila! Saya pingsan atau tidur? Sebenernya tadi siang saya sempet bangun dan menonton tv beberapa jam, tapi kemudian tidur lagi dan terbangun sekarang.
Ada sebuah penyesalan. Saya melewatkan tayangan Sinetron. Episode 325. Jangan terjadi lagi.
Hari ini adalah hari rabu. Bukan hari rabu biasa karena hari ini ada jadwal futsal. Sudah barang tentu futsal itu hobi saya. Kata tukang parkir yang biasa jaga di tempat futsal, saya berbakat bermain futsal kalau membayar uang parkir dua kali lipat. Saya selalu membayar dua kali lipat uang parkir untuk menambah tehnik main futsal. Katanya lagi, Lionel Messi itu hebat karena bayak parkir dua kali lipat.
Setelah di lapangan.
“Mundur!” saya dimarahin Kapten pas main futsal. Setelah mengangguk dongo, Saya mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya.
“Maju!” saya dimarahin lagi sama Kapten. Katanya disuruh mundur. Udah mundur disuruh maju. Saya jadi serba salah.
“Da, keluar!”
saya menangis. Sakit hati gara-gara tukang parkir itu bohong.
Memang hari ini saya nggak layak main futsal di sini. Mungkin karena bolanya terlalu bundar. Eh, bola kan emang bundar. Berarti saya yang terlalu bodoh memainkan bola. Tapi biasanya nggak gini kok. Tolong aku tukang parkir.
Harusnya saya membaca buku fisika dulu supaya tau bentuk bola yang sesungguhnya. Jadi saya bisa menguasai bola dengan baik. Yeah! Ah, tapi buku itu sudah hilang di telan air hujan.
Saya yang memang sudah nggak kuat lagi untuk meneruskan futsal, langsung pulang ke rumah. Di rumah pun saya Cuma ganti baju dan cuci kaki. Bukanya jorok atau apa, kan nggak bagus kalau mandi tengah malem. Bisa-bisa dikira mandi untuk minta pusaka si Mbah.
Sambil istirahat saya menonton acara di tv. Saking lagi enak posisi saya nggak sadar kalau waktu sudah terlewati dua jam. Pantat saya sampai tapakan. Sebelah pantat saya berwarna merah marun.
Perut berbunyi tanda cacing udah demo minta makan. Saya juga baru sadar kalau perut belum diisi apa-apa dari pagi. Saya mencari sesuatu di dapur. Semoga aja ada secuil nasi dan setetes kuah bakso.
Saya mencari dan terus mencari, tapi percuma. Nggak akan ada makanan di sini. Hanya ada bawang putih. Itu juga buat ngusir vampire. Bukan buat makan.
Jika saya langung tidur, saya takut disebut manusia biadab sama tetangga gara-gara menelantarkan cacing di perut yang nggak punya bapak. Saya tertunduk lesu sambil megangin perut. Begini lah pengangguran. Kalau saja saya punya uang untuk membeli makanan di luar. Pasti nggak akan begini ceritannya. Bakalan selalu bahagia sentosa dan sejahtera.
Sebelum meninggalkan dapur, saya mendapat ilham, dengan sendirinya mata melihat panci yang ditutup. Saya menghampiri panci itu sambil berdoa ada sesuatu di dalamnya.
Sampai saya mengangkat tutup panci itu. Yes… akhirnya ada makanan di dalamnya. Bukan makanan biasa, itu adalah ati ayam. Saya senang dan merayakannya dengan sedikit nari india. Ternyata Kakek lebih senang kalau saya yang memakan ati itu.
Nggak banyak lama saya mengambil ati ayam yang tergeletak pasrah di panci. Tapi saya merasa ada hal yang nggak beres. Ada bercak-bercak warna putih di badan ati. Saya menciumnya, baunya sedikit berbeda. Rada asem. Awalnya saya kira itu bau ketek, tapi setelah diselidiki itu bau ati ayam.
Saya mempertimbangkan untuk memakannya. Seakan ada dua sosok memberi tahu yang saling bertolak di sebelah saya. Di sebelah kiri warna merah dan sebelah kanan warna putih.
Dari sebelah kiri berkata,
“Ayo makan aja atinya. Nggak apa-apa kok. Itu kan Cuma mau basi bukan udah basi.”
Tapi di sebelah kanan berkata lain,
“Ayo makan aja atinya. Dari pada kelaparan.” Tapi maknanya sama aja.
Kok ngasih taunya sama ya? Biasanya kan kiri setan, kanan malaikat. Tapi kok pendapatnya sama. Pas aku ngeliat kesebelah kanan kiri ternyata kuntilanak pake baju merah sama putih. Pantes aja ngasih solusinya nggak bener. Tapi itu hanya sugesti bodoh saya. Sori kebanyakan nonton film hantu Indonesia.
Badan terus berdiri terdiam di tempat memikirkan sesuatu. Saya hanya punya dua opsi. Mati kelaparan… atau mati keracunan? Dua-duanya kacau. Yang pasti saya nggak mau mati.
Atas nama cacing yang nggak punya bapak, saya memakan ati ayam itu.
“Grrrgrrrr…. Kaing…kaing… grrrrr…” saya makan dengan rapih. Dan akhirnya ati itu ludes termakan.
Ternyata nggak apa-apa. Saya masih kuat dan rupawan. Ternyata itu Cuma perasaan saya saja.
Kemudian saya terdidur. Tapi jam lima subuh saya sudah terbangun lagi.
“Aduh…” saya menggeram. Perut saya melilit. Bunyi, brot brat bret brot. Kenapa ini? Perut saya nyanyi.
Oh, ternyata gara-gara ati semalem. Saya jadi tidur sebentar. Megangin perut sambil jalan ke wc. buang aer terus-terus. Keluar banyak. BROOOOOTTTT.
Untungnya kesakitan itu hanya sementara. Saya bisa tidur lagi dengan nggak nyenyak.
Mungkin kemudian hari saya harus meninggalkan kebiasaan makan ati ayam dan mempertimbangkan untuk memakan tai ayam.
Jumat, 23 Desember 2011
ati atau mati?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Diare garagara makana ati ayam?
Posting Komentar