Mahasiswa
2010
Saya bersama
teman SMA saya, Norman, menyusuri Bandung untuk mencari informasi mengenai
Universitas yang ada di kota ini. Saya sudah lulus tanpa meninggalkan masalah
di sekolah. Selama SMA saya tidak pernah menjadi terosis atau anggota
Illuminati. Saya bersih dan kini tinggal mencari tempat yang cocok untuk
melanjutkan pendidikan.
Banyak yang
bilang, ngambil jurusan komputer aja, soalnya nantinya gampang kemana-mana.
Salah! Malah ribet kalau kemana-mana bawa komputer. Berat.
Saya mengambil
brosur dari beberapa Universitas negeri ternama di Bandung. Cie. Padahal saya
nggak yakin bakalan diterima di Universitas negeri manapun di jagad semesta
alam.
Saya mencari
jurusan sastra indonesia tapi nggak nemu. Saya waktu itu nyarinya di ITB. Mana
ada tehnik belajar sastra? Saya baru sadar pas setelah itu. Untung nggak nanya
ke satpam. Si Norman lagi ngangguk-ngangguk aja pas diajak.
Sebenarnya saya
pengen merantau. Singgah di Kota orang. Merasakan bagaimana merindukan kampung
halaman nantinya. Tapi percuma, saya nggak mungkin merindukan kampung halaman.
Soalnya saya tinggal di Kota. Mungkin saya akan merindukan Kota halaman.
Mamah tidak
setuju dengan usulan saya itu. Daripada dilempar piring, saya akhiri perdebatan
dan memutuskan kuliah di Kota kelahiran saya, Kota Kembang, yang sebenarnya
kembangnya tinggal sedikit tertipa gedung-gedung besar. Macet lagi.
Salah satu
gedung besar yang saya ceritakan tadi kini menatap saya dari pinggir jalan
setelah saya memarkirkan motor di jalan Dipatiukur. Saya mengunci motor dan
mengunci stang. Saya enggan memanjakan maling. Hidup perlu ada usaha sedikit,
Ling.
“Man, kita sudah
besar.” Kata saya merangkul Norman sambil berjalan menuju universitas swasta
itu. Norman hanya mengangguk. Mungkin dia merasa masih kecil.
Kami berdua
masuk ke lobi dan mengabil brosur Universitas itu di meja panitia. Eh, bukan
panitia, tapi sekertariat. Entah kenapa, feeling saya berkata bakalan masuk Universitas
swasta ini meskipun hasil SNMPTN belum diumumkan.
Pas ujian
SNMPTN, Saya ngambil ujian soal IPA. Pilihan jurusan di soal IPA pusing-pusing.
Pilihannya jurusannya, matematika, kimia, fisika, pertanian dan lain-lain. Saya
ngambil Psikolog UNPAD dan Ilmu Komputer UPI. Saya kurang tau kalau Psikolog di
UNPAD itu bagus kata orang-orang. Dikirain gampang masuknya. Jadi saya sangat
percaya diri kalau saya akan gagal di SNMPTN.
Setalah
mengambil brosur, kami berdua kembali ke tempat parkir untuk mengambil motor.
Saya melihat tukang batagor gerobak pinggir jalan dan mengajak Norman membeli
batagor disana.
Kami berdua
duduk di trotoar dan memesan ke Tukang batagor yang keliatan senang. Batagor
yang dijualnya ada dua jenis, batagor kuah dan kering. Saya memesan batagor
Kuah, Norman memesan batagor kering.
“Man, jangan
mesen batagor kering. Rugi.” Kata saya berbisik.
Norman menengok.
“Kenapa?”
“Liat aja
nanti.”
Dua mangkok
batagor datang. Kami berdua melahap batagor sesuai pesanan. Norman semangat
memakan batagor dengan bumbu keringnya. Sedangkan saya menghabiskan kuah tanpa
memakan batagornya. Pas batagor Norman habis, batagor saya masih utuh.
Saya berdiri
dari duduk, “Mang, minta bumbu keringnya ya.” Tukang batagor itu mengangguk.
Saya menuangkan bumbu kering pada batagor yang masih utuh. Lalu duduk lagi di
sebelah Norman.
“Man, kemana
batagor kamu? Kenapa udah abis lagi?” saya nyengir.
Norman ketawa
sambil geleng-geleng kepala, “Kamu bener-bener.”
“Kata saya juga
apa, rugi kan? Saya mah dapet dua rasa, satu biaya.” Saya nyengir sambil
memakan batagor dengan bumbu kering yang enak.
Malam harinya,
hasil SNMPTN diumumkan. Kakak saya yang nganggur satu tahun sehingga jadi
seangkatan dengan saya diterima SNMPTN UPI sastra jepang. Pas saya buka Nomor
peserta SNMPTN saya, seperti yang sudah-sudah. Saya gagal masuk pendidikan
akademis negeri. Baik SMP, SMA, dan Kuliah.
Saya sedih.
Kapan giliran saya masuk negeri? Saya membuka FB, jejaring sosial utama saat
itu, saya mendapati berita kalau teman-teman juga masuk Universitas negeri
pilihannya. Bahkan Norman masuk sastra Perancis di UPI.
Saat itu saya
masih remaja. Pikiran saya sangatlah pendek. Kenapa Tuhan selalu menunjuk saya
gagal? Kapan giliran saya? Sempat kepikiran untuk kerja dulu dan menunda
penididikan saking kecewanya. Tapi pada akhirnya saya harus mau menerima
berkampus di swasta yang dianggap dibawah universitas negeri oleh masyarakat.
*****
Kini saya harus
kembali. Kejalan itu. Jalan beraspal yang dipinggirnya banyak motor parkir
liar. Saya parkir disana karena saya percaya saya mampu menjinakan lagi motor
saya.
Saya kembali ke
tukang batagor itu. Saya bisa saja menyalahkannya. Gara-gara makan batagor dua
rasa satu biaya, saya jadi gagal masuk universitas negeri. Tapi sudahlah, saya
sekarang masuk universitas ini. Dengan Cucu. Dia adalah teman SMA saya yang
tidak saya kenali waktu SMA.
Alhamdulilah, saya diterima di Universitas Swasta,
yang... hmm... no comment. Untuk
memuji universitas saya sih jarang-jarang. Perguruan tinggi ini dengan senang
hati menerima saya sebagai mahasiswa setelah membayar uang pendaftaran. Tanpa
uang pendaftaran, entahlah.
Asalnya saya
mengambil jurusan komputer, tapi saya batalkan dan memilih jurusan ilmu
komunikasi. Saya berkonsultasi ke Ahmad, tetangga saya, jurusan Ilmu komunikasi
itu belajarnya apa saja? Katanya, nggak ada pelajaran matematika. Yap, itu
adalah penjelasan yang mampu mengubah haluan dari jurusan management
informatika menjadi ilmu komunikasi. Karena nggak ada itungannya. Enak.
Saya datang sore
hari untuk mengikuti mata kuliah kedua di hari pertama masuk kuliah. Tadi pagi
sudah masuk mata kuliah dan mata kuliah ke dua di lanjut sore ini. Saya belum
ketemu siapa pun. Maksudnya teman-teman baru. Karena Cucu tadi langsung
mengajak saya pulang.
Saya berjalan
sendiri dari parkiran menuju ruang seminar. Di jadwal tercatat pelajaran
sekarang digelar di ruang itu. Entah dimana ruangan itu yang penting saya
kumpul dulu di depan ruang sekjur. Biasanya sebelum masuk kelas, mahasiswa baru
pada kumpul di depan sekjur.
Dan benar, ada
beberapa anak-anak kelas IK-3, teman sekelas saya yang sebenarnya saya kenali
selewat tadi pagi. Sebagai orang baru, saya linglung mencoba mencari tempat
menunggu yang tenang.
Saya mendapati
dua orang yang sedang duduk di batasan teras sekjur dengan halaman parkir
terbuat dari papingblok. Mereka berdua tersenyum menyambut kedatangan saya.
Tangan kami bersalaman bergantian dan saling mengenalkan nama, “Ade.” Pria
botak yang saya salamin pertama. Dia tersenyum ramah. Model rambutnya sama
kayak saya. Meski nggak ada ospek, saya digunduli. Mengantisipasi cewek-cewek
pada ngeceng.
“Panggil aja, Cupeng.” Kata pria stelan
hitam-hitam yang saat bersalaman itu. Saya ingat percis dua orang pertama yang
saya salami di kampus ini.
Dan bertanda
apa? Ya bertanda bahwa kami mahasiswa dong. Nggak berapa lama, dosen memberi
tahu masuk kelas dan para mahasiswa juga ikut masuk kelas.
Read More/Selengkapnya...